Selasa, 11 Maret 2014

Ballon D'or !!!

Sebuah Ajang Adu Popularitas Bernama FIFA Ballon D’Or


86saapb.jpg

"There is something that has changed in the Ballon d'Or since it went to FIFA.”
Kutipan di atas menjadi begitu menarik karena bukan fans, pemain yang patah hati karena gagal menang, atau pundit sepakbola yang mengucapkannya. Tetapi Michel Platini, Presiden UEFA. Dan ketika seseorang sebesarnya sampai memberikan komentar yang sinis seperti itu, kita tahu bahwa memang ada yang salah dengan gelaran akbar tahunan milik FIFA ini.
Sebetulnya, Platini bukan orang pertama yang menyadari dan secara terbuka mempertanyakan penghargaan yang kini menjadi simbol ‘terbaik di dunia’ di sepakbola tersebut. Komentar miring terhadap gelaran ini bahkan sudah muncul sejak Wesley Sneijder tidak masuk dalam posisi tiga besar di gelaran tahun 2010, meskipun ia menjadi bintang utama Internazionale Milan meraih treble di tahun itu: Scudetto, Liga Champions, dan Coppa Italia, sebuah pencapaian tertinggi pertama yang pernah diraih klub Italia. Menariknya, penghargaan Ballon d’Or pada tahun 2010 itu adalah yang pertama yang digelar setelah dilebur dengan penghargaan FIFA World Player of the Year, yang kian menegaskan keraguan terhadap kredibilitas penghargaan yang kini bernama FIFA Ballon d’Or ini.
Ballon d’Or sejatinya adalah penghargaan yang digelar oleh majalah sepakbola ternama France Football. Digelar pertama kali pada tahun 1956, awalnya penghargaan bola emas ini diberikan untuk pemain terbaik di Eropa yang berasal dari Eropa. Baru pada tahun 1995, syarat ‘pemain harus berwarganegaraan Eropa’ dicabut, dan pada tahun 2007, skala penghargaan diperbesar dan mencakup semua pemain sepakbola di dunia – bukan hanya yang bermain di benua biru.
Semasa masih dipegang penuh oleh France Football, cara pemilihan pemenang penghargaan ini adalah dengan mengumpulkan suara dari wartawan-wartawan sepakbola terpilih. Awalnya, ada 52 wartawan seantero Eropa yang diminta untuk memberikan suaranya untuk menentukan pemain terbaik di benua tersebut selama satu tahun terakhir. Pada tahun 2007, jumlah ini membengkak menjadi 96 jurnalis top sepakbola dari seluruh dunia, seiring dengan membesarnya skala penghargaan.
Seiring dengan berjalannya waktu, Ballon d’Or pun menjadi penghargaan individual paling bergengsi di dunia sepakbola. Kredibilitasnya begitu tinggi, hingga penghargaan pemain terbaik milik FIFA, yang baru dimulai pada tahun 1991, tak mampu menyainginya. Awalnya, hal ini tidak terlalu masalah karena keduanya berbeda spektrum; jika Ballon d’Or hanya menilai pemain-pemain yang bermain di kompetisi Eropa, FIFA World Player of the World memberikan penilaian terhadap pemain-pemain dari seluruh dunia. Tetapi ketika Ballon d’Or memperbesar skalanya hingga seluruh dunia, penghargaan pemain terbaik dunia versi FIFA pun ‘terancam’ dan akhirnya badan sepakbola tertinggi di dunia itu mengajukan proposal untuk peleburan kedua penghargaan.
Meleburnya kedua penghargaan ini menyebabkan sistem pemilihan pun ikut melebur. Sistem pemilihan oleh para jurnalis sepakbola top dunia ala France Football disatukan dengan sistem pemilihan oleh pelatih-pelatih dan kapten-kapten tim nasional anggota FIFA, yang sebelumnya digunakan untuk FIFA World Player of the Year, untuk menentukan siapa pemenang FIFA Ballon d’Or. Jumlah pemilih pun membengkak (Saya agak malas menghitungnya, ada 17 halaman PDF para pemilih untuk kategori pesepakbola pria). Apakah ini hal yang bagus? Seharusnya memang terasa semakin demokratis, tetapi hasilnya ternyata tak terlalu positif.
Permasalahannya adalah, dengan membengkaknya jumlah pemilih, pada akhirnya ini tidak lagi seperti kontes pemain terbaik. Ini lebih seperti kontes pemain paling populer dalam setahun terakhir, dan pemain yang paling menyita perhatian (dan paling banyak disorot media) lah yang paling mungkin menang. Kegagalan Sneijder masuk tiga besar di tahun 2010 atau, misalnya, Andrea Pirlo di tahun 2012 adalah contoh bagaimana pemain-pemain yang mungkin ‘kurang populer’ sulit mendapatkan penghargaan ini. Atau bagaimana Franck Ribery, meski menjadi salah satu aktor utama keberhasilan Bayern Munich merebut treble musim lalu (yang berarti jumlah trofinya bersama tim lebih banyak daripada Messi atau Ronaldo musim lalu), hanya berada di posisi ketiga di Ballon d’Or 2013.
Permasalahan yang sama juga terjadi dalam penentuan FIFA/FIFPro World XI. Ada lebih dari 45.000 pemain sepakbola profesional yang menjadi anggota FIFPro yang berhak memilih susunan tim terbaik dunia dalam satu tahun terakhir, dan dengan jumlah pemilih yang begitu banyak, pada akhirnya, lagi-lagi, yang populer lah yang menang. Untuk World XI tahun 2013, misalnya, muncul fakta-fakta yang lucu, termasuk munculnya nama Sergio Ramos dan Dani Alves sebagai dua dari empat bek terbaik, padahal selama tahun 2013 ini, mereka benar-benar tak memberikan banyak permainan yang brilian, apalagi jika Anda membandingkannya dengan, misalnya, Dante atau bahkan Mats Hummels dari duo klub finalis Liga Champions 2013, Bayern Munich dan Borussia Dortmund. Yang lebih lucu, Ramos dan Alves bahkan mendapatkan lebih banyak suara daripada Lahm yang, menurut banyak jurnalis Eropa, bahkan seharusnya berhak masuk dalam tiga besar pemain terbaik dunia jika melihat performanya selama 2013 kemarin. Hal yang lebih lucu lagi: ada Iker Casillas di posisi kedua di belakang Manuel Neuer sebagai kiper terbaik selama 2013, meskipun, menurut Carlo Garganese, deputi editor GOAL.com Internasional, hanya bermain di tiga pertandingan La Liga selama tahun 2013 ini. Dagelan!
Pada akhirnya, Ballon d’Or, setidaknya sejak diambil alih FIFA, menjadi seperti sebuah kegiatan politik pesepakbola. Hal yang diakui sendiri oleh France Football, seperti dikutip oleh Ben Lyttleton dalam kolomnya di Sports Illustrated.

 “The Ballon D'or is not a prize, but a drama of intrigue, a political and sporting thriller where each athlete sells himself... where malice and shenanigans are never far away.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar